Minggu, 28 Oktober 2012

MENJADI GURU YANG MENYENANGKAN



Guru mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Maka tak heran jika guru juga sebagai kunci keberhasilan seorang siswa dalam pemahaman materi. Biasanya, siswa mengikuti apa yang dikatakan oleh guru, meniru apa yang dilakukan oleh guru, dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh guru. Untuk itu, menjadi seorang guru haruslah berhati-hati, terutama menjadi guru SD atau TK. Anak kecil masih belum tahu mana yang baik dan mana yang benar. Disitulah peranan guru dalam proses pembelajaran. Dalam usia siswa yang masih kecil, mereka harus dididik menjadi pribadi yang baik dan berakhlak. Para pendidik itulah yang membentuk karakter si anak, termasuk guru. Tidak hanya torfokus dalam tingkat TK atau SD saja, untuk tingkat SMP dan SMA, atau bahkan kuliah, peran dan tanggung jawab seorang guru semakin berat. Para pelajar tingkat menengah ini rata-rata masih remaja, yaitu proses transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Umumnya meraka masih mempunyai emosional yang labil. Mereka masih mencari jati diri mereka itu seperti apa. Mereka juga tidak suka diatur atau dikekang-kekang.  Selain peranan orangtua, keluarga, dan teman, peran guru juga sangat penting. Para guru akan selalu lebih berhati-hati dalam menyikapi tingkah laku remaja. Dalam proses pembelajaran sendiri, para guru haruslah mengerti dan memahami keinginan dan kemauan remaja saat ini. Jadi, antara guru dan murid akan mendapatkan hal yang diinginkan.
            Para siswa yang umumnya sedang menempuh pendidikan menengah (SMP/SMA), biasanya mempunyai keluhan dalam proses pembelajaran di sekolah.  ‘Males ah, gurunya killer’, itu mungkin sudah menjadi respon yang umum di kalangan remaja ketika berhadapan dengan guru yang killer atau suka marah-marah. Dalam banyak film atau sinetron di negeri ini, guru yang killer biasanya digambarkan dengan wajahnya yang menyeramkan, menggunakan kacamata, tak pernah senyum, dan lain sebagainya. Mungkin itu semua benar. Apalagi saat mengajar, sang guru menggunakan nada orang yang seperti marah-marah, itu menambah kemalasan para siswa untuk belajar dengan guru tersebut. Pada umumnya, tak ada guru yang berharap menjadi guru killer. Semuanya menginginkan menjadi seorang guru yang disegani para siswanya dan mudah dalam menyampaikan materi. Tapi, biasanya itu adalah watak guru itu sendiri.
            Walau hampir sama dengan guru killer, tipe guru yang satu ini cenderung tidak suka membuat kemarahan, tapi membuat suasana jadi membosankan. Ya, guru yang tergabung dalam ‘kasta’ ini mempunyai  teaching style´yang membosankan alias membuat suasana jadi tidak mendukung untuk belajar. Mereka biasanya datang ke kelas, kemudian menjelaskan (dibaca membaca) materi yang ada di buku. Setelah selesai, mereka akan memberi tugas kepada para siswanya. Karena para siswanya sudah mempunyai LKS (Lembar Kerja Siswa), guru tersebut hanya menyuruh mengerjakan bab sekian sampai bab sekian; bab ini sampai bab itu. Sementara para siswa mengerjakan apa yang diperintah, guru tersebut pergi dari kelas, atau bahkan pergi dari sekolah. Tapi biasanya pergi ke kantin dengan alasan lapar. Setelah selesai, guru tersebut kembali ke kelas dan mengoreksi pekerjaan siswa. Hal seperti itulah yang terkadang membuat sebagian siswa malas belajar. Mereka malas karena materi yang disampaikan belum masuk ke otak, tapi sudah dikasih tugas lagi.
            Ada langit pasti ada bumi. Nah, kalau ada guru yang menyebalkan dan membosankan, pasti ada guru yang membuat bersemangat dan menyenangkan dalam belajar. Guru yang seperti ini pasti banyak diinginkan oleh semua siswa. Mereka cenderung menjadikan murid sebagai subjek (pelaku dalam proses pembelajaran). Jadi, tidak lagi menggunakan metode yang tradisional/ketinggalan zaman, yang mana guru hanya menyuapkan materi atau guru yang menjadi subjek pembelejaran. Selain itu, mereka pasti mempunyai ribuan macam cara untuk membuat peserta didiknya tidak mengantuk saat pelajaran. Karena mereka yakin kalau siswa senang dalam belajar, para siswa akan mudah menangkap materi dan akan lebih mudah untuk mencapai target yang diinginkan. Cara yang mereka lakukakan untuk mengobati rasa kantuk yaitu dengan mengajak belajar ke luar ruangan, mengajak diskusi antar siswa, memberikan model peraga, atau bahkan mengajak bernyanyi. Mereka juga tidak ingin memberikan tugas yang monoton, seperti mencatat buku. Seperti yang disebutkan di atas, mereka mempunyai ribuan cara untuk ‘membunuh’ rasa kantuk, jadi mencatat bisa diganti dengan membuat sebuah mindmap. Sebetulnya masih banyak hal-hal yang dilakukan oleh guru yang aktif seperti ini dalam menanggulangi kebosanan para siswa.
            Untuk menjadi guru yang menyenangkan bagi siswanya tidaklah mudah. Apalagi untuk guru yang tergolong killer. Mereka harus memulainya dari hal yang paling kacil. Setiap guru sebaiknya memahami apa yang diinginkan oleh para siswanya. Kalau siswa TK dan SD, tentu maunya bermain. Sedangkan untuk siswa SMP/SMA, mereka mungkin menginginkan sebuah kebebasan. Kebebasan di sini dalam arti tidak mau dikekang dan bisa mengeskspresikan keinginannya. Walau begitu, guru harus terus mengawasinya. Setelah mengerti keinginginan para muridnya, sesekali buat cara mengajar menjadi apa yang diinginkan. Misalnya, membuat sebuah permainan anak SD yang ada kaitannya dengan pelajaran di kelas. Tidak hanya itu saja. Para guru harus rela mengorbankan waktu luangnya untuk membuat sebuah alat peraga atau semacamnya. Sehingga nantinya, siswa tidak hanya berpatok pada buku saja, yang terkadang susah untuk dipahami. Dengan adanya alat peraga, siswa akan lebih mudah dalam mempelajarinya. Selanjutnya, guru harus sering membuat tugas dalam kelompok, agar beban siswa tersebut tidak terlalu berat. Bisa juga dalam sebuah kelompok membuat sebuah mindmap yang nantinya dipresentasikan ke depan kelompok lain. Jauhi juga tugas-tugas yang berhubungan dengan mencatat, karena sebagian siswa susah untuk menghafal catatannya. Dan yang paling penting, saat pelajaran berlangsung, sering-sering juga memberi pertanyaan kepada para siswa. Dengan demikian, para siswa akan lebih mudah dalam memahami materi yang disampaikan.
            Guru yang killer itu tidak disenangi oleh kebanyakan siswa. Demikian juga dengan guru yang membuat suasana kelas jadi membosankan. Itu semua akan menghambat siswa dalam belajar. Umumnya siswa menyukai guru yang tidak monoton dan tidak tradisional. Kalau seorang guru membuat suasana aktif di kelas, para siswa mungkin akan lebih mudah menerima materinya. Kalau siswa mudah menerima dan memahami materi, hal tersebut akan membuat target guru dan siswa menjadi lebih mudah dicapai. Jadi, metode belajar yang dimiliki oleh guru akan berdampak pada pemahaman siswa itu sendiri.


http://indonesiaberkibar.org/sites/all/themes/images/GIB-2.jpg

Jumat, 26 Oktober 2012

CERITA PENGALAMAN : GURU NGAJIKU

                    Saya tinggal di sebuah desa yang jauh dari Kota Palembang - Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan. Jaraknya yang sekitar 200 km membuat anak-anaknya tidak terlalu terpengaruh terhadap kemajuan zaman (pada waktu itu). Ketika saya masih SD, masih begitu banyak permainan tradisional yang dimainkan oleh saya dan teman-teman saya. Begitu juga dengan pelajaran agama. Saya harus ditanamkan pendidikan agama oleh orang tua saya. Begitu pun dengan taman-teman saya.
                  Seperti layaknya di daerah-daerah lain di Indonesia, mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar bertani. Mungkin hanya beberapa orang yang menjadi guru atau wiraswasta, termasuk ayah saya yang seorang guru SD. Namun mereka semua mempunyai pendirian yang sama – membekali anak-anaknya dengan ilmu agama. Tidak mengherankan jika sejak SD, bahkan TK, tiap sore banyak anak-anak yang mengaji. Anak-anak biasanya berangkat bersama menggunakan sepeda, sekitar pukul tiga sore. Ya, memang sebagian masyarakat di daerah saya beragama islam. Maka dari itu, di sana sangat mudah mencari mushala, masjid, bahkan pondok pesantren sekalipun.
                  Saat kelas I sampai dengan kelas III SD, saya termasuk anak yang bandel dalam urusan mengaji (belajar membaca Al-Quran). Saya sering berpindah-pindah TPA (Taman Pendidikan Al-Quran, tempat anak-anak belajar mengaji). Saya juga sering dimarahi oleh orang tua saya gara-gara saya sering absen atau malas mengaji. Itu semua karena saya tidak menemukan tempat yang cocok untuk belajar mengaji. Semua TPA mempunyai sistem yang tak beda jauh, dimana guru hanya menyimak murid-muridnya membaca Iqro (buku khusus untuk belajar membaca Al-Quran), kemudian hafalan doa sehari-hari. Karena ayah saya ingin agar saya cepat bisa membaca Al-Quran dengan lancar, ayah saya memutuskan agar saya belajar private. Belajar private di sini bukan berarti guru datang ke rumah dengan bayaran yang bisa di bilang wah, tapi saya sendiri yang datang ke rumah guru ngaji saya.
                  Namanya adalah Ust. Mustofa. Beliau adalah tetangga saya, walaupun rumahnya tak begitu dekat dengan rumah saya. Setahu saya, beliau adalah petani biasa. Namun beliau juga mengajar di pesantren dekat rumahnya. Wajar saja, Ust. Mustofa pernah belajar di salah satu pesantren yang ada di Pulau Jawa cukup lama, jadi pengetahuan agamanya sangat luas.
                  Mulai kelas IV SD, sekitar tahun 2005, saya mulai belajar mengaji dengan Ust. Mustofa. Dengan mengendarai sepeda, tiap malam saya datang ke rumahnya. Itu semua karena perintah ayah saya agar saya bisa membaca Al-Quran, bahkan mendalaminya. Ya, karena tak ada siswa lain, saya hanya sendirian. Di ruangan mungkin hanya ada Ust. Mustofa, Bu Itis (istrinya), Ima (anak sulungnya), dan saya. Saya berangkat sesudah Maghrib dan pulang sebelum Isya’. Walau belajarnya tak lebih dari satu jam, namun lebih efiseian karena jumlah siswanya yang hanya satu, bisa dibilang anak tunggal. Dan saya masih ingat betul ketika pertma kali Ust. Mustofa mengajarkan saya membaca surat Al-Fatihah – surat pertama dalam Al-Quran. Waktu itu saya akui kalau saya masih cacat dalam membaca Al-Quran. Perlahan-lahan saya mulai nyaman belajar mengaji di sana.
                 Setiap bulan siswanya selalu bertambah. Ini karena saya selalu mengajak teman-teman saya untuk ikut ngaji bersama di sana. Semakin hari terus semakin bertambah. Bukan hanya anak SD yang mengaji di sana, anak SMP pun juga banyak yang mengaji di sana. Saya pun juga mengajak adik saya untuk menuntut ilmu di sana. Walau hanya menggunakan rumah beliau sebagai tempat belajar, semua merasakan kenyamanan yang sama. Tidak hanya diajarkan membaca Al-Quran, semuanya juga diajarkan sopan santun, fikih, sejarah islam, dan masih banyak lagi.
                Layaknya simbiosis mutualisme – saling menguntungkan. Itulah yang dapat digambarkan antara para siswa, orang tua dan Ust. Mustofa. Dalam hal ini, para siswanya mendapatkan banyak ilmu yang sangat bermanfaat, sedangkan Ust. Mustofa juga mendapat keuntungan dari kami. Beliau bisa dikatakan menjadi ustadz yang sedang naik daun. Setiap ada pengajian, beliau selalu menjadi tamu khusus. Ust. Mustofa juga telah mempunyai jadwal ‘manggung’, dimana setiap Rabu malam dan Sabtu malam beliau harus menghadiri pengajian. Belum lagi undangan-undangan pengajian lainnya yang bisa datang setiap ada acara. Sedangkan orangtua, mereka telah memberikan kepercayaannya kepada Ust. Mustofa terhadap anak-anaknya untuk belajar agama di sana.
               Hingga saya SMP, muridnya pun semakin bertambah. Mulai dari anak SD hingga SMP pun ada. Karena rumahnya sudah bisa dikatakan overload untuk menampung siswa sebanyak itu, maka dibangunlah mushala. Ya, Ust. Mustofa beserta keluarga besarnya dengan bantuan para orang tua murid mampu mendirikan mushala dengan biaya sendiri di samping rumahnya. Namanya juga mushala, ukurannya tak sebesar masjid-masjid pada umumnya. Mushala tersebut dinamakan Wali Songo, karena ayahnya Ust. Mustofa mempunyai sembilan anak. Walau tak begitu besar, mushala ini bisa menampung siswa-siswanya untuk belajar dam beribadah.
              Sistem belajar atau mengajinya pun juga semakin membaik dari tahun ketahun. Karena semakin banyak murid yang mengaji di sana sedangkan tenaga pengajarnya hanya Ust. Mustofa, istri, dan saudaranya, maka beberapa anak diberi kepercayaan untuk menyalurkan ilmunya kepada anak-anak SD, termasuk saya. Saya diberi kepercayaan untuk mengajari anak-anak SD membaca Iqro/Al-Quran. Banyak anak-anak yang harus saya ajari. Sebenarnya, maksud Ust. Mustofa sendiri adalah agar ilmu yang telah ia berikan bisa bermanfaat untuk orang lain. Jadi, ilmu yang telah saya terima haruslah diamalkan ke orang lain. Selain itu, setiap Ramadhan tiba, Ust. Mustofa sering mengadakan buka bersama. Tujuannya tak lain hanya untuk mempererat tali persaudaraan satu sama lain. Walau hanya kue atau makan makanan ringan yang diberikan secara ikhlas dari orang tua murid, semua tampak menikmatinya.
              Di sana, para murid juga ditanamkan sikap terpuji, misalnya selalu bersyukur. Hal ini terlihat ketika salah seorang siswa mendapat juara kelas di sekolahnya, atau mendapat juara dalam sebuah perlombaan, Ust. Mustofa selalu mengadakan syukuran bersama. Semua anak ikut berdoa, berdzikir, bahkan terkadang mendapat makanan dari orang tua murid tersebut. Selain itu, sebelum ulangan/ujian sekolah tiba, Ust. Mustofa juga mengajak murid-muridnya untuk berdoa meminta petunjuk kepada-Nya agar diberikan kemudahan dalam menghadapi ujian. Kegiatan-kegiatan seperti itu mereka ikuti dengan antusias. Para orang tua murid juga merespon baik terhadap kegiatan seperti itu. Sedangkan program belajar yang dimiliki oleh Ust. Mustofa yang menurut saya bagus adalah kegiatan yasinan tiap rumah. Jadi, tiap dua minggu sekali, tepatnya Sabtu sore, Ust. Mustofa mengajak para muridnya untuk membaca surat Yasin dan dzikir bersama di salah satu rumah murid. Dua minggu berikutnya pindah ke rumah murid lainnya. Begitu pun seterusnya.                            Banyak hal yang dapat memotivasi saya dari apa yang Ust. Mustofa miliki. Pertama, keikhlasan hatinya yang patut saya segani. Tahukah Anda? Ust. Mustofa tidak pernah sekalipun meminta bayaran dalam mengajar murid-muridnya. Ia benar-benar ikhlas melakukan itu semua karena Allah semata. Mungkin Ust. Mustofa akan meminta uang hanya untuk keperluan mengaji, seperti membeli spidol. Kedua, kesabarannya yang tiada henti. Ia selalu sabra dalam segala kondisi. Saya pernah melihat Ust. Mustofa dalam keadaan yang benar-benar letih karena selepas pulang dari pengajian. Namun beliau tetap menjalankan amanahnya, yaitu mengajar murid-muridnya. Sebenarnya masih banyak lagi sikap-sikapnya yang patut dicontoh dalam membangun generasi muda saat ini menjadi generasi yang berilmu dan berakhlak.
              Karena saya melanjutkan SMA di Bogor, saya tidak bisa lagi membantu Ust. Mustofa mengajar lagi atau pun mengaji di sana. Walau demikian, tiap kali liburan, saya selalu sempatkan diri untuk mengunjunginya ataupun membantunya mengajar. Ust. Mustofa memang pernah perpesan kepada saya, jika sudah menjadi ‘orang’, jangan pernah lupakan semua orang yang telah membantumu.
Assalamu'alaikum.... Wah sudah lama saya tidak buka/posting di blog... Entah terakhir postingnya kapan.. Yeah (antara suka atau tidak suka) di kelas XI ini, saya menjadi siswa social science. Yah kalau di SMA umum sama aja sih jadi anak IPS. Memang sih antara senang dan nggak senang. Tapi persentase nggak senangnya sih lebih besar dikit (dulu, pas awal masuk). Intinya ya gitu. Saya ngga suka kelas sosial karena satu hal, cita-cita saya yang ingin menjadi dokter harus kandas di kelas sosial (lebai). Memang cita-citaku sejak kecil ingin jadi dokter. Karena nilai IPAku lebih kecil dari IPS, ya mau tak mau harus masuk kelas social. Well, mendingan berpikir positif ke depan aja. Kalau saya nanti masuk Fakultas Kedokteran di manapun universitasnya (karna pengen jadi dokter), tau sndiri lah biaya kedokteran itu selangit. Entah apa yang membuat biaya kedokteran sedikit (banyak) lebih mahal dari jurusan lainnya. Tapi itulah dunia. Malah ada saudara saya yang bilang bahwa dokter itu kerjanya nyari orang sakit, semakin banyak orang yang sakit, semakin makmur hidupnya (maaf ya pak dokter) :) Oke, liburan semester memang sudah selesai beberapa bulan yang lalu, libur idul fitri juga sudah selesai. Saya sudah mulai merasakan kenyamanan dalam kelas sosial. Di sini, saya duduk di kelas XI Social N. 'N' itu nama inisial student advisor-ku. Setiap hari, aku belajar bersama 24 anak lainnya di kelas, tanpa ada Biologi, Kimia, dan F.isika. Hidup kurang indah memang tanpa eksakta. Di kelas Social N, saya benar-benar sudah nyaman bersama kawan-kawan lainnya. Kelasku biasa disebut feminism class, dimana perempuan bisa berkuasa. Maksudnya, jumlah anak perempuan 20, sedangkan laki-lakinya hanya 5 orang. Nyaris memang. Sedangkan jumlah anak laki-laki di kelas lainnya bisa mencapai lebih dari kelas saya. okelah itu dulu, nyambungnya nanti,,,,